Profesionalisme Pekerjaan Berbasis Jabatan
Profesionalisme Seorang Arsitek
Arsitektur adalah sebuah disiplin
ilmu yang berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari manusia dan bagaimana
ia berhubungan dengan lingkungannya. Dalam hal ini, ilmu arsitektur dipandang
telah ada bahkan sejak dahulu kala, sebelum Vitruvius dinyatakan sebagi arsitek
di Roma pada masanya. Karena pada masyarakat tradisional sebelum itu pun,
pengetahuan membangun telah dialihkan secara turun temurun dari generasi ke
generasi sebagai sebuah proses berkelanjutan, hal ini mungkin lebih kerap
disebut-sebut sebagai arsitektur vernakular. Namun pendidikan formal arsitek
sendiri, yang menghasilkan profesional di bidang arsitektur baru muncul pada saat menjelang abad
revolusi industri mulai dikenal. Dalam perjalanan sejarah, pendidikan profesi
ini sering disatukan dengan pendidikan seni rupa.
Selain
itu, ilmu arsitektur juga merupakan perpaduan antara ilmu
seni dan teknik bangunan yang memenuhi keinginan praktis dan ekspresif dari
peradaban manusia dari zaman ke zaman. Kita dapat melihat dari literatur
sejarah bagaimana hampir semua masyarakat yang telah hidup menetap memiliki
keteknikan membangun tersendiri yang akhirnya menghasilkan arsitektur mereka.
Dari sini, arsitektur kemudian
dianggap penting bagi kekayaan sebuah kebudayaan karena bukan hanya tentang
melakukan pertahanan terhadap lingkungan alam saja, tetapi juga terhadap
lingkungan manusia, arsitektur kemudian menjadi prasyarat dan simbol dari
perkembangan peradaban dari kebudayaan tersebut. Kali ini tidak akan
diperdebatkan apakah ilmu arsitektur merupakan ilmu seni atau ilmu teknik, dan
mencoba mengkompromikan kedua sisi tersebut. Ide Vitruvius tentang venustas
(keindahan), firmitas (keterbangunan) dan utilitas(fungsi)nya disampaikan
sebagai penegasan terhadap perdebatan tersebut. Oleh karena itu, arsitek tidak
hanya semata-mata seorang ahli bangunan saja, ia juga merupakan seorang
profesional yang memahami betul pembangunan secara luas. Hal ini yang
menyebabkan akhirnya terdapat banyak tuntutan yang dihadapkan kepada seorang
calon arsitek dan perlu dipenuhinya agar ia dapat secara profesional menjadi
arsitek.
Arsitektur
sebagai sebuah bidang profesi, banyak berhubungan dengan beberapa isu penting
dalam kehidupan masyarakat saat ini, misalnya seperti pengeksplorasian
cara-cara baru dalam berkehidupan, penelitian terhadap teknologi-teknologi dan
material baru and meyakinkan bahwa apa yang dibangun oleh si arsitek telah
berkelanjutan terhadap lingkungan. Tetapi berbicara secara umum tentang profesi
arsitektur, ia mencakup bagaimana merancang sesuatu yang dapat digunakan dengan
baik oleh manusia namun tidak lupa juga tetap diindah dipandang secara visual.
Hal
tersebut di atas menandakan bahwa seorang arsitek harus mempelajari ranah yang
cukup luas untuk menguasai berbagai macam kemampuan yang berkaitan dengan pemenuhan
tuntutan terhadap dirinya dalam perjalanannya menuju profesi arsitektur, meski
kemudian harus melintasi dan berdiri di atas batas antara ilmu seni dan ilmu
sains.
Profesi
arsitek seperti telah disebutkan sebelumnya, telah ada sejak zaman Mesir dan
Yunani Kuno. Vitruvius merupakan salah satu yang terbaik yang dikenal sebagai
arsitek dari Romawi dengan aspek teorinya terhadap profesi ini bahwa pemahaman
tentang liberal arts cukup penting bagi arsitek sebagai ilmu lanjutan bagi
teknologi bangunan. Sehingga banyak arsitek di masa ini yang berlatar belakang
dari pengrajin, seniman, tukang kayu, atau tukang batu yang turut serta dalam
sebuah proses konstruksi pembangunan. Kemudian perkembangan profesi ini terus
dilanjutkan di Abad Pertengahan, baik di Barat maupun Timur. Tetapi teori
Vitruvius pada praktik arsitektur di masa ini tidak lagi digunakan, melainkan
diganti dengan teori bahwa arsitek adalah seorang master-builder, seorang yang
benar ahli dalam masalah membangun. Perubahan ini secara mendasar tidak merubah
poin mendasar dari tugas utama yang dilakukan oleh arsitek, dan begitu pula
hingga saat ini, yaitu melakukan konsepsi dan pengawasan terhadap pembangunan
suatu bangunan.
Untuk
dapat melakukan pekerjaan utamanya mulai dari mengonsepkan rancangannya hingga
membangun rancangan tersebut, terdapat beberapa pengetahuan yang harus dikuasai
oleh seorang arsitek. Dalam proses perancangan saja, isu-isu yang
dipertimbangkan bukan hanya saja term-term yang disebutkan oleh Vitruvius:
venustas, firmitas, dan utilitas, melainkan juga isu mengenai dimensi-dimensi
yang berkaitan pada manusia, seperti dimensi sosial misalnya. Selain itu isu
lingkung alam di tempat bangunan itu akan dibangun juga merupakan satu hal yang
perlu diperhatikan. Pada tahap perancangan ini, arsitek harus dapat
membayangkan bagaimana ruang dan tempat yang akan dibangun ini dapat memberikan
baik kenyamanan maupun perlindungan bagi penghuninya, bagaimana arsitektur yang
dirancangnya dapat memberikan pengaruh baik terhadap bagaimana manusia berkehidupan,
dll. Setelah pengonsepan terhadap ruang dan fungsi, perhatian dicurahkan pada
pemilihan sistem struktur yang dipilih untuk digunakan ketika merancang. Dan
tentu saja pengetahuan tentang sistem-sistem utilitas yang akan bekerja pada
bangunan tersebut juga merupakan satu hal yang perlu diketahui dengan baik oleh
seorang arsitek. Sebagai penelur para calon arsitek, institusi pendidikan
formal arsitektur hingga saat ini memang masih terus berusaha mencari format
yang tepat, baik dari metode pendidikannya maupun dari bentuk institusi
pendidikannya sendiri. Masih tentang apa yang harus dipelajari dalam
arsitektur, apa yang bisa didapatkan dari pendidikan arsitektur, dan bagaimana
sejauh mana pendidikan dapat mengantarkan para mahasiswa calon arsitek ke dunia
profesi arsitektur merupakan sedikit dari beberapa pertanyaan kuno untuk ilmu
yang berbasis baik di sosial maupun keteknikan ini.
Menilik
pada kajian-kajian yang dilakukan oleh Niels Prak dan Roger Lewis, ternyata
banyak permasalahan yang diutarakan oleh seorang arsitek setelah ia memasuki
dunia profesi arsitektur yang sesungguhnya, permasalahan yang sebenarnya pun
dipengaruhi pula oleh sistem pendidikan yang mereka alami sebelumnya. Lewis
memaparkan ada beberapa tipe arsitek setelah mereka menjalani dunia
arsitekturalnya, dari tipe arsitek yang memiliki semangat enterpreneurship sampai
arsitek bertipe artist dan poet-philosophers yang menguatkan diri pada basis
tradisi seni dan interpretasinya, sebagai pengayaan khazanah arsitektur. Di
lain kesempatan, Prak hanya memaparkan dua tipe arsitek yaitu arsitek yang
praktisi atau fungsionalis dan arsitek yang artis atau pembaharu. Kemudian
diambillah kesimpulan bahwa seorang arsitek sejati sesungguhnya merupakan
gabungan antara kedua tipe arsitek tersebut; seraya mampu memanifestasikan
pemikiran tersebut ke dalam bentuk nyata yang dapat diterima oleh masyarakat.
Namun
pola pendidikan arsitektur yang bercita-cita melahirkan arsitek ideal tersebut
kemudian menjadi dilematis, antara pendidikan arsitektur yang menampung sisi
pendidikan praksis arsitektural dan pengayaan teori arsitektur. Untuk
menyelesaikan kedilematisan ini, perlu diadakan sebuh penyeimbangan yang
dilakukan secara subyektif sehingga dapat menyeimbangkan keduanya. Namun
penyeimbangan ini tergantung pada paradigma dari institusi tersebut.
Union
Internationale des Architects (UIA), persatuan arsitek-arsitek
internasional, menuntut kemampuan profesional seorang arsitek dengan kriteria
kinerja profesionalisme yang tinggi. Kriteria ini terdiri atas tiga tingkat
kemampuan dengan tiga puluh tujuh butir materi. Butir-butir ini diberlakukan
menimbang tugas dari seorang arsitek bukan hanya sekedar mendesain bangunan,
tetapi perlu diingat bahwa dimulai dari proses perancangan sampai konstruksi
dan penyempurnaan tahap akhir, si arsitek sering diminta untuk terus terlibat.
Hubungan yang erat antara karya arsitektur dengan lingkungan hidup di
sekitarnya serta keamanan dan kenyamanan manusia juga perlu diperhatikan.
Ada
beberapa ketentuan mengenai standar profesionalisme arsitek yang ditentukan
oleh UIA. Yang pertama adalah mengikuti pendidikan untuk menjadi arsitek
profesional selama lima tahun, bila di Indonesia yaitu program strata satu/S1).
Yang kedua adalah menjalani magang di kantor selama minimal dua tahun.
Selanjutnya adalah mampu melewati kualifikasi kompetensi dengan penguasaan tiga
belas pengetahuan dan kemampuan dasar arsitektural.
Hal
semacam ini juga dijalankan oleh Royal Institute of British Architect (RIBA),
asosiasi arsitek Inggris, namun dengan cara yang sedikit berbeda. Di Inggris,
program pendidikan (full time course in architecture) dibagi menjadi tiga
bagian. Bagian pertama, apabila ditempuh secara normal, dapat diselesaikan
selama tiga tahun dan mereka yang telah lulus tahap ini akan mendapatkan gelasr
kehormatan, untuk selanjutnya meneruskan dengan satu tahun pengalaman magang.
Pada bagian kedua, peserta yang telah menyelesaikan akan mendapat gelar Diploma
atau Bachelor of Architecture, di bagian yang berlangsung selama dua tahun
ini sering diberlakukan sela waktu antara tahun ketiga dan keempat bagi siswa
yang mengambil program magang pada biro konsultan arsitektur yang terdaftar di
RIBA. Di bagian ketiga, siswa menyelesaikan ujian praktek professional (Professional
Practice Examination), yang sering berlangsung paruh-waktu selama periode kedua
pemagangan. Setelah semua itu, di akhir masa tujuh tahun, siswa diperkenankan
mendaftar secara resmi sebagai arsitek melalui Architects Registration
Council of the United Kingdom (ARCUK) dan mengajukan keanggotan pada
asosiasi professional yang diakui RIBA.
Sedangkan American
Institute of Architects (AIA) sebagai asosiasi profesi arsitek di Amerika
Serikat memiliki cara yang berbeda dengan UIA dan RIBA. Di sini terdapat National
Council of Architectural Registration Boards (NCARB) yaitu dewan yang
bertugas memantau anggota AIA dalam menjalankan profesinya sebagai arsitek;
serta menjaga keamanan, kesehatan dan kesejahteraan public yang dilayani oleh
arsitek. Gelar arsitek profesional itu sendiri hanya diberikan kepada para
lulusan yang berasal dari sekolah arsitektur yang telah mendapat akreditasi
dari National Architectural Accrediting Board (NAAB). Untuk
memperoleh lisensi atau sertifikasi profesi, maka diperlukan juga adanya
pengalaman kerja dengan periode tertentu dan sesudah itu harus mengikuti ujian
profesi yang dilaksanakan oleh Architect Registration Examination (ARE).
Karena
Indonesia dikelilingi oleh negara-negara yang berbasis RIBA, misalnya Malaysia,
Singapura serta Australia dengan Royal Australian Institute of Architects (RAIA)-nya
yang juga bermula dari RIBA, maka pembahasan mengenai sistem dan metode yang
digunakan oleh baik UIA maupun RIBA perlu sedikit dibahas. Karena tanpa
sertifikasi sebagai pengakuan kompetensi internasional yang diberikan oleh
asosiasi setempat maka seorang arsitek tidak mempunyai hak untuk berpraktik di
negara lain tersebut.
Selain
itu, Indonesia juga merupakan salah satu dari sembilan puluh delapan negara
anggota UIA di Region IV (Asia dan Australia), maka menjadi wajib baginya untuk
mengikuti kualifikasi yang telah ditetapkan secara internasional, untuk
mempersiapkan arsitek-arsiteknya bersaing di kancah internasional. Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, sistem pendidikan di Indonesia untuk program
strata satu diberlakukan secara umum oleh Departemen Pendidikan Nasional hanya
berlangsung selama empat tahun, padahal tuntutan dari UIA adalah minimal lima
tahun pendidikan universitas. Bila dibandingkan, dengan ketentuan 144-160 sks
selama menjalani program strata satu tentunya dianggap tidak memenuhi standar
internasional. Karena sejak pemadatan kurikulum ini diberlakukan pada enam
tahun yang silam, terjadilah banyak pemangkasan beberapa mata kuliah dan
studio.
Seyogyanya,
kurikulum pendidikan arsitektur empat tahun yang kini berlaku di Indonesia
disesuaikan menjadi lima tahun seperti yang dituntut oleh UIA, sehingga studio
perancangan arsitektur dapat dilaksanakan selama sepuluh semester secara
berkesimbungan dan menjadi tulang punggung pendidikan arsitektur. Kemudian
setelah itu baru pendidikan lima tahun tersebut dilanjutkan dengan magang
minimal dua tahun setelah lulus. Namun sayangnya, hal ini masih berupa wacana
yang terus diperbincangkan. Beberapa institusi pendidikan arsitektur mencoba
menyelesaikan permasalahan ini dengan mengadakan program penambahan satu tahun
yang sempat terdengar dengan nama pendidikan profesi.
Sistem
penambahan satu tahun ini diserahkan kepada masing-masing institusi pendidikan
oleh legitimasi yang dilakukan oleh IAI dan Departemen Pendidikan Tinggi
(Depdikti) dengan cakupan 20-40 sks. Setelah lulus program penambahan ini,
seseorang akan memperoleh gelar Sarjana Arsitektur. Kemudian untuk mendapatkan
lisensi profesi IAI, seorang sarjana arsitektur tadi harus mengikuti ujian yang
dilakukan oleh Dewan Keprofesian Arsitek yang bisa diambil apabila telah
menjalani proses pemagangan selama minimal dua tahun. Jenis keanggotaan yang
diterima pada tahap ini adalah keanggotan biasa atau lisensi tingkat C. Setelah
melewati tahun ke empat, baru dilakukan penilaian lagi untuk memperoleh lisensi
tingkat B melalui evaluasi oleh Dewan Keprofesian Arsitek dan Dewan Lisensi
Arsitek. Pada tahun ke delapan, akan dilakukan penilaian lagi untuk memperoleh
rekomendasi IAI untuk tingkat A.
Namun
program penambahan ini dipandang seakan-akan diadakan hanya untuk sekedar
memenuhi tuntutan formal yang diminta UIA, sehingga akhirnya muncul isu baru,
mengapa program ini tidak langsung saja dimasukkan ke sistem pendidikan sebelumnya,
yaitu sistem pendidikan empat tahun, sehingga bisa genap menjadi pendidikan
arsitektur lima tahun dengan sistem studio perancangan arsitektur yang bisa
lebih komprehensif.
Para
lulusan dari sistem pendidikan saat ini yang masih menggunakan sistem empat
tahun pun sangat dianjurkan untuk menjalani program magang di biro arsitektur
agar dapat mempelajari lebih banyak dan mengenal lebih luas dunia keprofesian
arsitektur, sehingga menjadi semacam latihan dan gambaran nyata bagi para
lulusan baru bagaimana dunia arsitektur itu. Kemudian setelah pemagangan ini,
serentetan proses pengujian kualifikasi diadakan sebelum seorang lulusan baru
tersebut dapat berprofesi sebagai arsitek professional.
Sertifikasi
ini adalah proses penilaian untuk mendapatkan pengakuan atas kompetensi dan
kemampuan dari seseorang, untuk memenuhi persyaratan peraturan perundangan
sebelum memperoleh lisensi/SIBP, atau yang saat ini disebut dengan Surat Ijin
Pelaku Teknis Bangunan (SIPTB). Dalam hal ini sertfikasi yang dimaksud adalah Sertifikat
Keahlian Arsitek (SKA), dan peraturan perundangan adalah Undang-Undang Jasa
Konstruksi no. 18 tahun 1999 dan PP no. 28, 29 & 30 tahun 2000. Proses ini
sendiri bukanlah merupakan sesuatu hal yang berat untuk diraih oleh para calon
arsitek profesional tersebut, tetapi tetap ada standar kompetensi sebanyak tiga
belas butir kemampuan dasar yang harus dimiliki arsitek profesional.
Kemampuan-kemampuan dasar inilah yang akan menjadi panduan penilaian terhadap
permohonan sertifikasi. Tiga belas butir ini diturunkan dari 37 kemampuan dasar
yang harus dikuasai fresh graduate menurut standar AIA, badan ikatan profesi
arsitek Amerika Serikat.
Ketiga
belas butir tersebut antara lain adalah:
1. Kemampuan
untuk menghasilkan rancangan arsitektur yang memenuhi ukuran estetika dan
persyaratan teknis, dan yang bertujuan melestarikan lingkungan. (Ability to
create architectural designs that satisfy both aesthetic and technical
requirements, and which aim to be environmentally sustainable)
2. Pengetahuan
yang memadai tentang sejarah dan teori arsitektur termasuk seni, teknologi dan
ilmu-ilmu pengetahuan manusia. (Adequate knowledge of the history and theories
of architecture and related arts, technologies, and human sciences)
3. Pengetahuan
tentang seni dan pengaruhnya terhadap kualitas rancangan arsitektur. (Knowledge
of the fine arts as an influence on the quality of architectural design)
4. Pengetahuan
yang memadai tentang perancanaan dan perancangan kota serta ketrampilan yang
dibutuhkan dalam proses perancanaan itu. (Adequate knowledge on urban design,
planning, and the skills involved in the planning process)
5. Mengerti
hubungan antara manusia dan bangunan, dan antara bangunan dan lingkungannya,
serta kebutuhan/niat menghubungkan bangunan-bangunan dengan ruang di antaranya
untuk kepentingan manusia dan skalanya. (Understanding of the relationship
between people and buildings and between buildings and their environments, and
of the need to relate spaces between them to human needs and scale)
6. Pengetahuan
yang memadai tentang cara mencapai perancangan yang dapat mendukung lingkungan
yang berkelanjutan. (An adequate knowledge of the means of achieving
environmentally sustainable design)
7. Mengerti
makna profesi dan peran arsitek dalam masyarakat terutama pada hal-hal yang
menyangkut kepentingan masalah-masalah sosial. (Understanding of the profession
of architecture and the role of sarchitects in society, in particular in
preparing briefs that account for social factors)
8. Mengerti
persiapan untuk sebuah pekerjaan perancangan dan cara-cara pengumpulan data. (Understanding
of the methods of investigation and preparation of the brief for a design
project)
9. Mengerti
masalah-masalah perancangan struktur, konstruksi dan enjinering yang
berhubungan dengan rancangan bangunan. (Understanding of the structural design,
construction, and engineering problems associated with building design)
10. Pengetahuan
yang memadai tentang masalah fisika bangunan, teknologi dan fungsi bangunan
dalam kaitannya dengan kenyamanan bangunan dan perlindungan terhadap iklim. (Adequate
knowledge of physical problems and technologies and of the function of
buildings so as to provide them with internal conditions of comfort and
protection against climate)
11. Memiliki
ketrampilan merancang yang memenuhi kebutuhan bangunan dalam batas-batas yang
diberikan oleh anggaran biaya dan peraturan bangunan. (Necessary design skills
to meet building users requirements within the constraints imposed by cost
factors and buildign regulations)
12. Pengetahuan
yang memadai tentang industri, organisasi, dan prosedur dalam penerjemahan
konsep rancangan menjadi wujud bangunan serta menyatukan rencana ke dalam suatu
perencanaan menyeluruh. (Adequate knowledge of the industries, organizations,
regulations, and procedures involved in translating design concepts into
buildings and integrating plans into overall planning)
13. Pengetahuan
yang memadai mengenai pandangan manajemen proyek dan pengendalian biaya. (Adequate
knowledge of project financing, project management and cost control)
Dengan
kata lain, selama proses magang yang dijalaninya begitu ia lulus, seorang
lulusan baru dari pendidikan arsitektur tidak serta merta dapat memiliki
sertifikat. Dan apabila ia ingin ke depannya dapat bekerja secara professional
di bidang arsitektur, maka pada proses magangnya ia harus bekerja pada sebuah
tempat dimana ia dapat bertugas melakukan proses desain seperti tugas seorang
arsitek. Karena IAI hanya memberikan Sertifikat Keahlian Arsitek kepada sarjana
arsitektur yang bekerja sebagai arsitek-designer (yang umumnya bekerja di biro
arsitek). Ada banyak pilihan yang bisa dipilih oleh para lulusan sarjana
arsitektur baru tersebut, di antaranya adalah dengan menjadi drafter pada biro
konsultan atau pada arsitek yang lebih senior, bekerja pada developer menjadi
in-house arsitek, menjadi dosen, menjadi PNS pada bidang terkait bangunan
gedung, dll.
Namun
setelah melewati proses pemagangan dan telah memiliki lisensi atau SIPTB (Surat
Ijin Pelaku Teknis Bangunan) maka pilihan baginya akan semakin besar terbuka,
yaitu dapat memilih untuk berpraktek sendiri dengan membuka biro. Hal ini telah
dapat dilakukan karena dengan adanya lisensi dari asosiasi tersebut, maka ia
telah mendapatkan kepercayaan bahwa ia adalah seorang yang ahli di profesi ini.
Isu
yang kemudian dihadapi oleh arsitek yang membuka biro adalah pertarungan dengan
para profesional lainnya yang berasal dari dunia internasional. Bisakah para
arsitek ini, yang baru akan mulai bertugas dengan, kalau bisa dikatakan, studio
arsitekturnya?
Ada
baiknya bisa sejenak melihat salah satu contoh yaitu HOK Architects Inc, sebuah
biro yang dapat dikatakan berhasil dan tetap bertahan setelah sekian lama
bermain di kancah dunia profesional arsitektur. HOK Architect didirikan oleh
tiga orang, yaitu Helmuth, Obata dan Kassabaum pada tahun 1955 di St. Louis AS.
Pada saat itu mereka hanya memperkerjakan 28 orang, namun kemudia perusahaan
ini berkembang sangat pesat hingga mampu memperkerjakan 2000 orang yang
tersebar di 24 kantor cabang. Sebagai biro arsitektur yang telah lama berdiri
dan dinilai cukup sukses sehingga dinobatkan menjadi firma arsitektur terbesar
di dunia, ada beberapa poin penting yang dilakukan dalam rangka menghadapi arus
global.
Poin-poin
dapat ditinjau bersama sebagai saran praktis sederhana yang bisa disikapi
dengan baik dari perspektif professionalisme arsitektur. Yang pertama adalah
dengan mulai aktif membangun jaringan, baik dengan pihak luar negeri maupun
dengan para kolega di daerah-daerah yang potensial. Kemudian melebarkan jangkauan
pasar dengan memperbesar divisi marketing secara agresif melalui berbagai media
potensial agar arsitektur dapat dilihat sebagai bisnis yang terus
berkelanjutan. Teknologi informasi yang hingga saat ini sudah berkembang begitu
pesatnya dapat menjadi alat bantu sebagai sarana marketing, publikasi,
komunikasi dll. Untuk itu pemberdayaan komputer semaksimal mungkin. Menggunakan
standar-standar tertentu misalnya dalam pengerjaan drafting menggunakan
software AutoCAD, akan sangat membantu dalam hal kecepatan kerja dan
mengoptimalkan delivery time. Di masa depan kinerja profesionalitas kerja akan
diukur dari kecepatan dan keoptimalan delivery time ini. Poin lain
yang tidak kalah pentingnya adalah dengan mencoba berkonsentrasi pada kekuatan
desain yang dimiliki dan mengenali pangsa pasar yang paling diminati. Demikian,
agar para professional setidaknya dapat lebih mempersiapkan diri dalam
menghadapi dunia profesional internasional.
Saat
ini kita sedang menghadapi sesuatu bernama free trade zone. Maka, para
arsitek asing akan membanjiri Indonesia lagi dan lagi, menyusul arus masuk
rekan-rekan mereka yang sudah mulai berkarya di pelosok Nusantara sebelumnya.
Karena akan semakin banyak proyek perencanaan dan konstruksi yang dipercayakan
untuk dikerjakan oleh perusahaan internasional. Karena sentimen-sentimen lokal
telah dikalahkan oleh profesionalisme dalam menjadi tolak ukur yang global.
Arsitek Indonesia tentu saja tidak ingin kalah menghadapi dunia profesi
internasional terutama di dalam negeri kita sendiri, untuk itu perlu baik para
arsitek senior maupun calon arsitek yang masih berada di jenjang pendidikan
dapat dipersiapkan dengan baik dengan sejak awal.
Hal
ini tentu tidak hanya dibebankan kepada IAI sebagai ikatan profesi saja, karena
sejauh ini dalam hal menggiatkan diadakannya sertifikasi sebagai salah satu
cara meningkatkan kinerja profesionalitas di bidang arsitektur ini. Hal lain
yang sebaiknya dilakukan adalah diadakannya kerjasama antara IAI dan institusi
pendidikan arsitektur dalam mengakreditasi sistem pendidikan arsitektur di
Indonesia sehingga pelaksana pendidikan arsitektur bisa lebih menyadari dan
tidak terjebak pada kuantitas lulusan saja melainkan pada kualitas. Persiapan
peneluran calon arsitek sebaiknya dilakukan dengan pembekalan pendidikan yang
kondisional dan proporsional, sehingga setelah lulus dari pendidikan arsitektur
di tingkat perguruan tinggi, para calon arsitek ini dapat langsung beradaptasi
dan belajar kembali dengan baik pada proses pemagangan minimal dua tahun itu.
Dimulai
dari sini, arsitek dan bidang arsitektur Indonesia dalam menghadapi dunia
profesi internasional tidak lagi tergagap-gagap dalam memenuhi standar yang
berlaku di tatanan dunia global internasional tentang performa profesionalisme.
Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, IAI telah cukup mempersiapkan proses
sertifikasi dan penerbitan lisensi arsitek Indonesia di berbagai tempat.
Selanjutnya, langkah nyata yang sedang giat diperjuangkan adalah adanya Architect
Act sebagai undang-undang yang mengatur lingkup kerja arsitek, yang
diberlakukan secara lokal, sehingga seorang arsitek tak dapat berpraktik tanpa
sertifikat setempat. Hal ini akan memperkuat posisi arsitek Indonesia dalam
menghadapi persaingan dengan dunia profesi internasional di dalam negeri kita
sendiri. Namun isu lainnya yang masih harus dipikirkan ke depannya adalah
bagaimana kinerja profesionalisme kita bila dibawa ke luar dan dibandingkan
dengan standar performa profesional yang mereka miliki. Sudah siapkah kita,
arsitek Indonesia, memasuki dunia profesi internasional dengan standar yang
sejauh ini belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh baik sistem pendidikan
arsitektur kita maupun oleh ikatan asosiasi?
Jurnal
:
Sumber
:
Komentar
Posting Komentar