Profesionalisme Pekerjaan Berbasis Jabatan
Profesionalisme
Hakim
Salah
satu yang memengaruhi tingginya indeks persepsi korupsi di Indonesia adalah
sistem peradilan yang korup, terjadi mafia peradilan, aparat penegak hukum
menerima suap. Semua itu menimbulkan persepsi negatif terhadap peradilan kita.
Dalam
blueprint MA dinyatakan bahwa peradilan kita masih carut-marut, terjadi mafia
peradilan, hakim korup, hakim tidak beretika, dan masih banyak lagi. Itu sebuah
kejujuran yang dikemukakan lembaga peradilan tertinggi.
Hakim
dalam melaksanakan tugasnya harus mempunyai tingkat pemahaman hukum positif
yang baik serta memperhatikan Pedoman Perilaku Hakim (PPH). Ada beberapa
prinsip dasar PPH. Di antaranya, hakim harus berperilaku jujur, adil,
berintegritas tinggi, profesional, dan berwibawa.
Prinsip
dasar inilah yang harus dijunjung hakim dalam menjalankan tugas maupun
berinteraksi sosial. Jika hakim dalam melaksanakan tugasnya maupun berinteraksi
sosial melanggar PPH dimaksud, menjadi tugas Komisi Disiplin untuk menegakkan
aturan itu. Hakim dalam ruang sidang menggunakan HP, bermain golf dengan salah
seorang pengacara yang bersengketa, menggunakan toga sambil merokok merupakan
beberapa contoh perilaku menyimpang atau bertentangan dengan PPH.
PPH
dibuat MA pada 2006. Jika ditelusuri ke belakang, sebetulnya PPH itu lahir atas
dasar suatu kekhawatiran atau ketakutan dari MA terhadap kode etik atau PPH
yang akan dibuat Komisi Yudisial (KY). Masih segar dalam ingatan kita, terjadi
perseteruan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung terkait dengan penegakan
kode etik hakim. Jika kode etik atau PPH itu dibuat KY, akan terjadi
problematik yang sangat rumit bila dihadapkan pada suatu permasalahan tentang
siapakah yang mempunyai kewenangan untuk menegakkan pelanggaran etika hakim
atau PPH?
Kelahiran
Komisi Yudisial yang terlepas dari MA patut menjadi pertanyaan konstitusional,
meskipun dalam konstitusi/UUD 1945 diatur. Betapa tidak, KY semestinya berada
dalam institusi MA, tidak berdiri sendiri.
Akan
menjadi kesulitan jika menghadapi suatu persoalan tentang hakim yang melanggar
kode etik/PPH, baik ringan maupun berat, apakah KY dapat memberikan sanksi?
Tentu saja tidak dapat karena hakim secara struktural maupun fungsional berada di
bawah MA. Jika demikian, apakah tugas dan wewenang KY?
Di
Indonesia, begitu mudah membentuk suatu lembaga yang bernama komisi. Barangkali
tidak dapat dihitung berapa komisi yang ada dewasa ini. Yang menjadi
pertanyaan, apakah komisi-komisi tersebut dapat menjalankan tugasnya? Banyaknya
komisi itu sangat memberatkan keuangan negara karena komisi-komisi tersebut
menjadi beban APBN dengan suatu tugas yang kurang jelas, apalagi jika diukur
efektivitas dan efisiensinya.
Hakim
Spesialis Di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, maupun MA, hakim dapat
menangani beberapa macam kasus sesuai dengan surat penetapan ketua
pengadilan/ketua MA. Di pengadilan negeri, misalnya, seorang hakim pada hari
yang sama dapat menangani perkara perdata dan perkara pidana. Demikian pula
hakim agung yang berasal dari Pengadilan Agama atau Tata Usaha Negara menangani
perkara kepailitan atau perkara pidana. Luar biasa hakim tersebut, tetapi
bagaimana putusannya, terutama dalam ratio decidendi-nya? Itu yang
memprihatikan.
Banyak
kasus yang dapat diketengahkan. Misalnya, perkara kepailitan PT Dirgantara
Indonesia (DI) dan PT Tempo yang diputus MA. Hakim agung yang memeriksa perkara
tersebut kurang mempunyai kemampuan hukum kepailitan atau hukum pidana sehingga
putusan itu menunjukkan kekurangpahaman atas norma-norma hukum yang berlaku
dalam perkara tersebut.
MA
perlu mencetak atau membentuk hakim-hakim spesialis, yang tidak seperti
sekarang. Dalam pendidikan calon-calon hakim/hakim, MA dapat menilai kemampuan
hakim/calon hakim tersebut.
Jika
calon hakim/hakim itu mempunyai kemampuan dalam bidang hukum pidana, hakim
tersebut diberikan tugas khusus untuk memeriksa perkara pidana saja, tidak
untuk perkara lain. Jika sudah ditetapkan menjadi hakim pidana, janganlah
dipindah-pindah untuk menangani kasus yang lain. Banyak
contoh yang dapat diketengahkan. Hakim PN dimutasi menjadi hakim PUTN atau
sebaliknya. Hakim Pengadilan Agama dimutasi menjadi hakim PTUN atau sebaliknya.
Itu akan merusak profesionalisme hakim.
MA
dalam melakukan mutasi hakim harus benar-benar memperhatikan beban pengadilan
dalam menangani perkara. Jika dalam pengadilan kelas I-A, misalnya, perkara
pidananya lebih besar, hakim yang paling banyak ditempatkan di situ adalah
hakim pidana, demikian pula seterusnya. Demikian
pula, ketua pengadilan dalam menetapkan majelis hakim harus memperhatikan
kemampuan individual hakim. Putusan hakim akan mencerminkan tingkat kemampuan
majelis hakim. Alangkah ironisnya jika ratio decidendi-nya tidak mencerminkan
kemampuan intelektualnya.
Yang
tidak kalah penting, ketua pengadilan mengupayakan majelis hakim yang tetap.
Banyak sidang ditunda karena anggota majelis hakim masih mengikuti sidang dalam
majelis hakim lain.
Masing-masing
pengadilan hendaknya membuat jadwal sidang dan jadwal tersebut disampaikan ke
penuntut umum, penggugat, serta tergugat. Hal itu dimaksudkan agar pihak yang
terkait mengetahui dan terikat dengan jadwal tersebut. Ketentuan itu akan
mengeliminasi persidangan yang molor.
DAFTAR PUSTAKA :
BUKU :
Effendy, Marwan. 2005. Kejaksaan RI Posisi dan
Fungsinya Dari Perspektif Hukum. Jakarta.Gramedia Pustaka Utama.
Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal System: A
Social Science Perspective. New York: Russel Sage Foundation.
Andi hamzah dan RM Surachman. 2014. Pre-Trial
Justice and discretionary Justice dalam KUHAP Berbagai Negara. Jakarta. Sinar
Grafika.
Sedarmayanti. 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia,
Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Bandung. Refika Aditama.
Delmar Karlen, Geoffrey sawer, and Edward M. Wise.
1967. Anglo-American Criminal Justice. New York Oxford University
Press.
Asshiddiqie, Jimly. 2014. Peradilan Etik dan Etika
Konstitusi: Perspektif Baru tentang Rule Of Law and Rule Of Ethics & Constitutional
Law and Constitutional Ethics. Jakarta. Sinar Grafika.
LeGrande, james L. 1973. The Basic process of
Criminal Justice. New York and Baverly Hills. Glencoe Press.
Iyer blakrisnan, Subrahmania. 1978. Speedy and Fair
Administration of justice, “ UNAFEIReport No. 15, November .
Jurnal
:
Sumber
:
Komentar
Posting Komentar